Oleh karena proses-proses pubertal secara langsung berkaitan dengan kematangan fisik dan seksual, maka perlu bagi kita untuk menengok bagaimana ini berhubungan dengan relasi dengan lawan jenis dan selanjutnya bagaimana berpengaruh pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) mereka.
Produksi dan pengaruh adrogen, khususnya testosteron, meningkatkan minat individu terhadap lawan jenisnya. Bahkan ada peneliti yang menyatakan bahwa pubertas seolah sebagai sebuah “tendangan pembuka” bak permainan bola yang diarahkan pada sistem kelekatan romantis (Compion & Hayward, 2003). Survei dilakukan oleh Smith, Udry dan Morris (1985, dalam Compion & Hayward, 2003) terhadap 433 siswa kelas 7, 8 dan 9 untuk mengevaluasi perkembangan pubertas, perilaku seksual dan keterlibatan mereka dalam perilaku seks pada siswa-siswa ini. Peneliti ini mendapati bahwa baik remaja putra dan putri menunjukkan kecenderungan semakin besar untuk terlibat secara seksual dengan lawan jenis ketika perkembangan pubertas mereka semakin matang, dibandingkan dengan mereka yang terlambat matang. Sejumlah penelitian lain juga mendukung kesimpulan ini, yakni beranjaknya keterlibatan romantis (berpacaran) terjadi lebih sering pada mereka yang matang awal. Studi lain yang menambahkan variabel gangguan makan mengindikasikan bahwa timing pubertas dini berhubungan dengan tingkat kencan dan pacaran yang lebih intens serta dengan gangguan makan.
Sejumlah peneliti menyatakan bahwa keterlibatan romantis selama masa remaja tidak hanya dikendalikan oleh perubahan biologis, namun juga oleh ekspektasi sosial searas dengan usia dan jenjang pendidikan. Konteks sosial di mana remaja tinggal memberikan pengaruh yang lebih kuat atas inisiatif awal dan perilaku berpacaran daripada sekedar status atau timing pubertas. Namun yang jelas adalah bahwa maturasi biologis dan konteks sosial bersama-sama memberikan pengaruh.
Oleh karena maturasi biologis pada perempuan nampaknya lebih rumit daripada pada pria, hal ini juga mengimbas pada keterlibatan dalam relasi romatik. Sejumlah penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara transisi serentak ini dengan simptomatologi eksternalisasi dan internalisasi (Compion & hayward, 2003). Sebagai contoh, awal dan berlangsungnya menstruasi dengan berpacaran berhubungan dengan perilaku remaja putri untuk memperhatikan dan mengendalikan berat badan mereka. Semakin matangnya karakteristik seks sekunder, misalnya pembesaran buah-dada, sering menimbulkan perasaan malu atau jengah dalam relasi sosial dengan lawan jenis.
Keterlibatan dalam relasi romantik pada usia dini secara empirik berhubungan dengan sikap seksual yang lebih permisif, delikuensi minor, pengalaman seksual dini tanpa ikatan perkawinan, peluang yang lebih tinggi dalam penggunaan obat, kesulitan/problem perilaku dan prestasi akademik yang rendah. Namun dampak-dampak negatif ini belumlah pasti secara langsung ditimbulkan oleh keterlibatan itu sendiri. Kerentanan dan resiko tinggi yang sebelumnya sudah dimiliki oleh anak menjadi predisposisi baginya untuk terlibat dalam relasi dengan lawan jenis, dan selanjutnya relasi ini berpengaruh atas konsep-diri dan citra-diri mereka. Setiap relasi antar manusia mempunyai sisi gelap di samping sisi terang, dan bagi remaja yang sudah rentan sebelumnya, mereka kemudian terjebak dalam sisi gelapnya. Sentralitas dan pentingnya relasi dengan lawan jenis bagi remaja adalah kunci untuk memahami bagaimana keteribatan dalam relasi dengan lawan jenis berpengaruh atas kesejahteraan (well-being) psikologis dan penyesuaian diri dan sosial mereka.
Catatan yang amat penting untuk kita pegang adalah bahwa pertemanan dan relasi dengan lawan jenis bisa dipandang bernilai tinggi atau rendah oleh remaja sendiri, bergantung pada konteksnya. Relasi antar jenis selama masa remaja adalah relasi yang amat rumit dan hasil penelitian yang satu sering tidak konsisten dengan yang lain, bahkan bisa bertentangan. Oleh karena itu, dalam menarik kesimpulan atau menentukan sikap, kita harus berhati-hati dan pada akhirnya sumber yang paling baik adalah individu remaja sendiri yang kita hadapi daripada segala teori dan hasil penelitian yang sering membingungkan. Pernyataan ini bukan sama sekali mengecilkan arti penelitian, karena semua pengetahuan yang telah berkembang dalam studi tentang remaja merupakan informasi yang amat berguna bagi kita. Namun informasi menjadi fungsional dan bermakna ketika diperhadapkan dengan individu real yang ada di depan kita.
Compian, L., & Hayward, C. (2003). Gender differences in opposite sex relationshipis: Interactions with puberty. Dalam C. Hayward (Ed.), Gender differences and puberty (pp.77-92). Cambridge: Cambridge University Press.