Sudahkah Pendidikan Merdeka dari Diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV?

Masih dalam rangka merayakan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei 2023, mari kita renungkan fungsi penting pendidikan sebagai ujung tombak pencegahan HIV. Pendidikan merdeka adalah pendidikan yang menghargai kebebasan individu dalam memilih dan mengembangkan potensi dirinya tanpa ada diskriminasi. Hal ini berarti bahwa semua orang berhak atas pendidikan yang sama tanpa dibedakan oleh jenis kelamin, agama, ras, atau orientasi seksual. Dalam konteks pencegahan HIV, pendidikan merdeka memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melindungi diri dari penyebaran virus ini.

Sayangnya, realita menunjukkan hal yang sebaliknya. Hingga saat ini masih banyak terjadi stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV di dalam lingkungan pendidikan itu sendiri. Salah satu kasusnya terjadi di Solo pada tahun 2019, dimana 14 siswa SD yang diduga mengidap HIV dipaksa keluar dari sekolah. Pengeluaran siswa ini diawali dari desakan para wali murid yang takut anaknya tertular HIV. Para wali murid tersebut juga mengancam akan memindahkan anak-anaknya ke sekolah lain jika ke-14 siswa tersebut tidak dikeluarkan. 

Kasus yang serupa juga terjadi di Samosir pada tahun 2018. Terdapat 3 anak yang dikeluarkan dari sekolah dasar karena diduga mengidap HIV. Lagi-lagi peristiwa ini bermula dari desakan para wali murid yang takut anaknya tertular HIV dan mengancam akan memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain. Bupati Samosir, yaitu Rapidin Simbolon, ikut menanggapi isu ini dengan memberikan saran homeschooling untuk anak-anak dengan HIV tersebut. Menurutnya, saran tersebut adalah jalan tengah yang paling pas untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak dengan HIV serta keinginan para wali murid. Padahal pemindahan anak-anak dengan HIV ini sungguh tidak perlu dilakukan, karena sudah jelas bahwa HIV tidak dapat ditularkan jika hanya melalui kontak langsung. Solusi Bupati Samosir ini justru berpotensi melanggengkan stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV karena masyarakat bisa salah mengira bahwa HIV dapat ditularkan melalui kontak langsung.  

Selain terjadi pada anak dengan HIV, stigma dan diskriminasi juga bisa terjadi pada anak yang anggota keluarganya mengidap HIV. Sering kali anak-anak dengan keluarga Orang Dengan HIV terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas, selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna, dari 996 rumah tangga yang menjadi sampel penelitian, hanya terdapat 316 rumah tangga Orang Dengan HIV yang anggota keluarganya masih boleh bersekolah. Dari angka tersebut, hanya 5 rumah tangga yang menyatakan bahwa pihak sekolah mengetahui bahwa di rumah tangganya ada anggota keluarga dengan status HIV positif. Namun, dari 5 rumah tangga tadi, terdapat 1 rumah tangga yang mengaku ada diskriminasi dari pihak sekolah, yaitu guru membatasi tanya jawab dengan anggota rumah tangga HIV yang bersekolah tersebut. 

Terlihat bahwa pada kenyataannya, pendidikan kita masih belum merdeka dari stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV. Pendidikan merdeka harus dimulai dari sekolah sebagai institusi yang memberikan pendidikan formal kepada anak-anak dan remaja. Sekolah harus mengajarkan tentang HIV/AIDS dan bagaimana cara mencegahnya tanpa diskriminasi. Pendidikan merdeka juga harus dilakukan di luar sekolah, seperti melalui media massa dan program komunitas. Media massa dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS dan cara mencegahnya. Program komunitas juga dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan individu dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS.

Tentunya, cita-cita pendidikan merdeka tanpa diskriminasi tidak dapat diwujudkan oleh satu pihak saja. Maka dari itu, mari kita bersama-sama meningkatkan kesadaran dan kepedulian bersama serta saling mengedukasi tentang bahaya diskriminasi di dunia pendidikan demi terwujudnya target eradikasi HIV/AIDS di tahun 2030.

Sumber:

https://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/berita-media/1736-14-siswa-idap-hiv-aids-dikeluarkan-dari-sekolah-dinas-pendidikan-solo-ada-sekolah-siap-menerima

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45942934

https://media.neliti.com/media/publications/580-ID-the-impact-of-hiv-on-childrens-education-in-indonesia.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *