Epidemi HIV di Indonesia

Berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia ada 591.823 orang yang hidup dengan HIV (ODHA). Jumlah ODHA tertinggi ada di Provinsi DKI Jaya, provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan di Tanah Papua. Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 mencapai 21.511 orang dewasa. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan mencapai 29.037 orang. Peningkatan angka ini merupakan akibat adanya penambahan jumlah layanan tes HIV yang cukup banyak, pada tahun 2013 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Perkiraan prevalensi HIV pada populasi umum di seluruh Indonesia adalah 0,4% pada tahun 2012, sementara di Tanah Papua 2,3%. Berikut ini adalah peta epidemi HIV pada penduduk dewasa di masing-masing provinsi, dimana prevalensi berkisar antara 0,1% sampai dengan 3,5%

Tingkat epidemi HIV di Indonesia berbeda-beda baik menurut area geografis maupun populasi kunci. Secara umum HIV terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali di Tanah Papua sudah memasuki populasi umum. Semuanya pada saat ini menunjukkan tanda tanda stabilisasi epidemi. Kecenderungan pertumbuhan prevalensi HIV di masa yang akan datang relatif lebih kecil dibandingkan proyeksi pertumbuhan epidemi yang dilakukan 5 tahun yang lalu. Namun demikian, pemodelan secara matematika menunjukkan bahwa epidemi HIV masih akan terus meningkat, jika tidak dilakukan upaya yang lebih intensif untuk menekan laju pertumbuhan ini.

Hasil STBP, SSH dan SCP ini memberikan informasi tentang prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) pada populasi kunci seperti di bawah ini:

Penasun

Prevalensi HIV pada penasun menunjukkan penurunan dari 53% di tahun 2007 menjadi 41% di tahun 2011. Pada kelompok lokasi sampel yang berbeda (Tangerang, Yogyakarta, Pontianak) tampak terjadi kenaikan prevalensi HIV rata-rata dari 27% di tahun 2009 menjadi 39,5% di tahun 2013. Pada periode waktu yang sama, proporsi penasun berbagi alat suntik pada saat terakhir menyuntik mengalami kenaikan di 3 kabupaten/kota tersebut, yaitu 18% menjadi 26% di Yogyakarta, 36% menjadi 47% di Tangerang, dan 23% menjadi 45% di Pontianak.

LSL

Data yang sama menunjukkan adanya peningkatan prevalensi HIV pada LSL yang signifikan. Pada STBP 2007 dan 2011, prevalensi HIV pada LSL naik dari 5,3% menjadi 12%, dan STBP 2009 dan 2013 naik dari 7% menjadi 12,8%. Hasil STBP 2013 menunjukkan prevalensi HIV tertinggi pada LSL ditemukan di lokasi survei Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, dan Kota Makassar antara 19%-20%. Prevalensi gonore juga mengalami peningkatan di 3 kabupaten/kota tersebut dari 17% menjadi 21% dan klamidia meningkat dari 17% menjadi 23%. Keadaan ini sangat mungkin berhubungan dengan masih rendahnya konsistensi penggunaan kondom saat hubungan seks anal terakhir seperti ditunjukkan di Kota Surabaya yaitu dari 75,9% pada STBP 2011 menjadi 53% pada SSH/SCP 2013.

Waria

Hasil STBP 2007 dan SSH/SCP 2013 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada waria mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 23,8% menjadi 19% di 22 kabupaten/kota dimana Kota Malang tercatat mengalami penurunan yang paling signifikan dari 16,8% menjadi 9,2%.

Sejalan dengan penurunan prevalensi HIV pada waria, terjadi pula penurunan prevalensi IMS seperti yang dilaporkan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013 di beberapa lokasi survei. SSH/SCP 2013 mengindikasikan prevalensi sifilis menurun signifikan dari 27,5% menjadi 16,2% pada waria. Perubahan yang signifikan terjadi di Kota Malang dan Bandung dimana prevalensi sifilis turun masing-masing dari 26,4% menjadi 14% dan dari 20,8% menjadi 4,2%. Penurunan prevalensi IMS lainnya juga terjadi pada STBP 2009 dan 2013 pada wilayah survei yang berbeda. Prevalensi klamidia turun dari 24% menjadi 19,8% pada waria di Kota Malang, Kota Samarinda, Kota Pontianak, dan Kota Makassar. Prevalensi gonore juga mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.

WPSL dan WPSTL

Prevalensi HIV pada WPSL mengalami penurunan yang signifikan di Jakarta dan Bandung seperti yang dapat dilihat dari hasil SSH/SCP 2013 dan STBP 2013, yaitu dari 10,5% menjadi 3,8% dan dari 20,7% menjadi 9,4%, sedangkan kota Malang mengalami peningkatan secara signifikan dari 36,4% menjadi 59,1%.

Secara keseluruhan, prevalensi sifilis pada WPSTL menurun dari 9,8% pada STBP 2011 menjadi 5,7% pada SSH/SCP 2013 di 15 lokasi survei. Prevalensi sifilis pada WPSTL menurun signifikan di 5 dari 15 lokasi survei tersebut, yaitu Deli Serdang dari 16,6% menjadi 4,8%, Kota Batam dari 11,6% menjadi 3,3%, Kota Bandung dari 10,4% menjadi 2,8%, Kota Surabaya dari 12,4% menjadi 4,6% dan Kota Batang dari 13,4% menjadi 1,2%.

Penurunan prevalensi IMS pada WPS juga tercatat pada STBP 2009 dan STBP 2013 di 9 lokasi survei lainnya (Kota Palembang, Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Bitung, Makassar, Sorong, dan Mimika). Prevalensi klamidia turun dari 39,5% menjadi 30,8% pada WPSTL dan dari 42,4% menjadi 40% pada WPSL. Prevalensi gonore mengalami penurunan pada periode waktu yang sama.

Perubahan perilaku merupakan tantangan pada kelompok WPS. Jumlah rata-rata pelanggan WPSL cenderung mengalami kenaikan pada STBP 2011 dan SSH/SCP 2013. Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir sangat bervariasi di berbagai tempat pada kedua survei tersebut. Terjadi penurunan yang signifikan pada proporsi WPSL dalam penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di Kota Denpasar, yaitu dari 90% menjadi 76,5%, akan tetapi pada periode waktu yang sama terjadi kenaikan yang signifikan proporsi penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir secara umum di lokasi survei dari 49,6% menjadi 65,5%. Tercatat pula bahwa penurunan yang signifikan dari proporsi ini terjadi di Kota Bandung dari 35,1% menjadi 12,5% dan di Kota Malang dari 44,9% menjadi 24,2%.

Oleh,

Hanjar Makhmucik, S.H, M.H – Direktur yayasan redline indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *