Progam PMTS pada populasi LGBT di Kediri

Delapan tahun sudah Kota Kediri ada program HIV-AIDS. Sudah banyak upaya telah dilakukan untuk menahan lajunya kasus HIV-AIDs dari kota Kediri. Telah banyak elemen masyarakat yang dilibatkan dalam program ini. Namun demikian upaya Penanggulangan HIV-AIDS belum bisa berjalan secara maksimal. Hal ini tentu menjadi perhatian husus bagi para Pegiat HIV-AIDS dikota Kediri.

Untuk menyikapi hal tersebut, maka upaya pelibatan semua lapisan masyarakat, dengan tidak lagi melihat jenis faktor resiko, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakuakan. Kita tidak boleh lagi terjebak dengan penilaian faktor resiko yang salah. Kita bisa mengambil  pelajaran dari kesalahan kita dalam memandang Ibu rumah tangga sebagai orang yang tidak beresiko tertular HIV. Tapi kenyataanya sekarang membuktikan bahwa Ibu Rumah Tanggalah yang paling cepat perkembangan kasus HIV-nya. Itu artinya bahwa semua lapisan masyarakat adalah orang yang rentan tertular HIV-AIDS apapun posisi dan profesinya.

Merespon hal diatas, maka Pembentukan Kader HIV yang tersebar di masing-masing Kecamatan, Kelurahan bahkan RW atau RT merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan. Bila hal itu tidak dilakukan maka upaya penanggulangan HIV-AIDS yang kita lakukan akan berhenti ditempat atau bahkan cenderung terlambat bila dibandingkan dengan perkembangan kasus HIV di Kota Kediri. Tentunya kita semua tidak berharap itu terjadi.

Banyaknya Gay yang masih menutup status orientasinya membuat sulit menjangkau karena mereka lebih memilih komunikasi melalui media sosial dan tidak mau berkumpul membuat informasi juga sulit masuk. Hal ini juga membuat sulitnya mereka untuk mengakses layanan kesehatannya dengan alasan takut terbuka dan malu. pemetaan dan penjangkauan melalui media jejaring sosial kita lakukan untuk membantu teman-teman yang masih tertutup itu. Dalam lingkungan masyarakat di Indonesia secara umum, seksualitas adalah isu yang jarang diperbincangkan, karena dianggap sebagai isu privat yang tabu untuk dibicarakan, terlebih oleh LGBT. Kondisi ini tentu saja merugikan keberadaan kelompok Lesbian, Gay. Biseksual dan Transgender (LGBT).

Mereka bukan hanya tidak mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat, namun juga harus mendapatkan beragam bentuk ketidakadilan, Karenanya, banyak LGBT yang mengalami persoalan-persoalan psikologis dan sosial dengan dirinya sendiri, seperti tidak percaya diri, tidak memahami identitas seksualnya, merasa bersalah/ berdosa/ sakit jiwa/ abnormal, dan bahkan tidak tahu atau tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengartikulasikan hak-hak seksualitasnya baik di ranah privat maupun publik. Pemahaman, pengalaman dan perasaan yang dianggap berbeda dari yang dianggap normal, membuat mereka ragu dan enggan mengungkapkan jati dirinya, baik pada lingkungan tempat mereka bekerja, tinggal dan belajar, demikian juga di keluarga. Upaya diseminasi atau pemberian informasi kepada komunitas untuk meminimalisir diskriminasi, serta upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dengan hubungan sex yang sehat dan aman.

Kegiatan pendidik sebaya/peer educator untuk komunitas sebagai bentuk penyebarluasan informasi. Akses kondom yang lebih banyak dan bisa di jangkau teman-teman. Masih banyak yang masih tertutup dari komunitas dan informasi di hotspot, akses layanan yang jauh dan kondisi dampingan yan tidak ada akses transportasi. Munculnya hotspot baru yang belum ada akses informasi, kurangnya respon yang aktif dari komunitas dalam akses layanan dan keterlibatan untuk penyebarluasan informasi.

Dari sekian banyak kader HIV yang sudah dilatih, akan tetapi hanya beberapa orang yang peduli dengan isu HIV AIDS ini. Walaupun demikian pada bulan April 2014 ini penyuluhan HIV AIDS masih tetap dilakukan oleh KPK(Komunitas Peduli Kesehatan) kelurahan Pakunden karena komitmen mereka seluruh warga minimal harus sudah terinformasikan tentang HIV AIDS sehingga kedepanya apabila di lingkungannya ada yang terinfeksi HIV sudah tidak bingung harus bagaimana dan dibawa kemana, sehingga ini akan mengikis stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di lingkungan masyarakat.

Fokus pada 3 bulan ini, Redline fokus pada peningkatan kapasitas kader, kelembagaan kader, administrasi kader dan peningkatan program dan layanan kesehatan di masyarakat yang melibatkan kader. Kebebasan bereksplorasi membuat kader berjalan lebih variatif ini dibuktikan dengan kader mualai membentuk kepengurusan di tingkat kecamatan kemudian menyamakan laporan administrasinya, melakukan Audiensi dengan camat, melakukan advokasi ke puskesmas untuk penjadwalan mobile VCT di lingkungan kelurahan singonegaran, mendiskusikan dengan KPAD dan CO Redline berkaitan dengan dilarangnya mobile VCT di kelurahan pada malam hari oleh kepala puskesmas pesantren II. Sebenarnya kesadaran akan test HIV pada masyarakat kel. Singonegaran sangat tinggi ini di buktikan hasil survey yang dilakukan oleh kader HIV dari 300orang responden 81% yang tersebar di 10 RW menyatakan siap untuk melakukan test HIV hanya saja pada pagi sampai sore mereka pada bekerja.

HAMBATAN

  1. Tuntutan pembentukan kader yang di dorong oleh semua elemen program baik dari KPAD dengan WPA nya, Dinas Kesehatan dengan LKB nya dan PKBI dengan PIKM nya ssangat bertolak belakang dengan dukungan yang di berikan bagi kader dalam proses implementasi.
  2. Layanan mobile VCT di kelurahan (masyarakat) yang menjadi salah satu program prioritas kader tidak di dukung oleh dinas kesehatan.
  3. Kebutuhan kader terkait media KIE, dildo sebagai media alat untu sosialisasi, juga tidak bisa di dukung oleh masing-masing elemen karena alasannya keterbatasan dana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *